Vancouver...
kota indah yang membuatku mengucap satu kata
"waah!"
suatu keinginan, atau mungkin mimpi, mimpi yang dibatasi.
bukan karena sekedar keinginan saja.
Aku ingin kesana...
suatu saat nanti mungkin, pertama yang ingin kulakukan
disana.
berteriak dan duduk menyendiri dipinggir danau tengah
kota.
memandang keelokkan kota impian ini.
gemerlap lampu kota bagaikan gelora semangatku.
aku hanya bisa menjadikan wallpaper di netbookku.
sesekali menatapnya dan berkata "kapan aku bisa
menapakkan kaki dikota ini?"
namun hanya mimpi yang dibatasi sajalah ketika kita putus
asa.
jangan...
aku ingin bukan hanya sekedar ingin, tapi mimpi.
lebih dari sekedar kesenangan. kesenangan yang akan
melimpah.
lebih dari ketika ku melihat sosok ayahku.
haah... beginilah hidup. terkadang menyusahkan, namun
terkadang menyemangati.
berawal dari sebuah kejadian menggemparkan nurani.
ketika aku menjadi seorangan badungan jalanan yang tak
tahu arah tujuan.
arus pergaulan membawaku, membawa ke suatu hal yang bukan
menjadi idaman setiap orang.
semua orang menyadari, mungkin hanyalah istilah blacklist
yang kini menjadi julukanku.
orangtua....
banyak istilah untuk mengartikan kata ini.
mother like superhero, father my hero, family are never
ending
motherfucker, atau apalah itu. aku tak lagi peduli.
yang ada dipikiranku hanyalah, kenapa ?
orangtua aku benci mereka. sesuatu yang menjadi
keinginanku dengan mudahnya mereka berkata tidak.
namun lain dengan ini...
orangtuaku syok ketika aku divonis hampir gila gara gara
narkoba yang kukonsumsi setiap hari.
aku hampir gila, mungkin sudah. otakku paraah.
badanku penyakitan. haah apa ini Tuhan ? cobaan lagi ?
oke...
ayahku, sosok yang kubenci selamanya.
justru pergi ketika aku dan ibukku membutuhkannya.
it's okay, aku bisa terima.
dan aku hanya bisa berkata "ohh bajingan sekali
dia"
sambil tertawa terbahak bahak menertawai dunia ini.
dunia yang baik hati dan suka menabung. ohh betapa
murkanya.
setiap hari aku harus dihadapkan dengan 2 orang suster
bodoh,
setiap aku teriak, mereka spontan menindihi kakiku dengan
bokong dan satunya lagi memegangi tanganku.
"heiii aku ini waras... justru kalian yang gila,
memperlakukan orang waras seperti orang gilaa."
aku gila dianggapnya, gara gara beberapa slop obat-obatan
yang kubeli dari teman karibku, sahabat.
"siaal, dia justru menyiksaku sekarang'
ketika aku tiap hari nya harus memakan 5 biji mentah
mentah.
"flyyy..."
flyyy sekarang gak ada artinya, sekarang yang kurasa cuma
siksaan bertubi-tubi dari tubuh sendiri
oh GOD terimakasih, busuk sekali hidupku ini.
menjadi orang yang besar obsesi tapi cuma mimpi, sesekali
mengucap aku ingin aku ingin.
ingin apa ? ingin mati... ? silakan, aku lebih baik mati
daripada sepeti ini.
tubuh yang tak lagi mendukung mimpi, tak guna lagi.
namun apa daya, dunia memang berputar.
dulu betapa indahnya ku jalani hidup utuh bersama ayah
dan ibuku tapi sekarang untuk memanggil nama ayah saja
aku mungkin bisa muntah, aku benci dia. maafkan aku.
beberapa kali ku berusaha untuk mengakhiri hidupku sendiri
dengan sebilah kaca dari kamar mandi,
masih saja selalu di gagalkan oleh suster-suster bodoh
itu.
"hey aku suka daraah, kalian bodoh.... lepaskan
aku!."
paaraahh... itu kata yang tepat untuk menggambarkan
keadaanku saat itu.
benar benar seperti orang yang tak ada gunanya lagi, tapi
kenapa aku tak boleh mati.
tak pernah aku sedikitpun berpikir positif yang baik
untuk diriku sendiri.
2 tahun berada direhab, tidak membuatku lebih baik.
dari rehabilitasi, dilanjut kerumah sakit karena aku
divonis kanker otak.
dampak dari obat-obatan tingkat tinggi itu, namun semua
tak pernah kusesali.
karena sudah ditakdirkan aku memang bukan orang yang
berguna.
aku teriak setiap kali ibuku menangis melihat keadaanku.
"kenapa ?? buang buang tangismu, urus saja suami
barumu. tak perlu kau pikirkan aku"
sendiri, sepi, mungkin inilah satu-satunya yang menjadi
keinginanku.
jendela dan gordin putih menjadi pemandanganku setiap
harinya, aku ingin tahu ada apa diluar sana.
apakah orang-orang yang sedang bersenang-senang menikmati
hidup. ?
kucoba beranjak dari tempat tidurku, tangan, kakiku masih
lemas kumencari benda-benda yang mampu kupegangi menuju luar jendela itu.
mataku sedikit menyipit ketika cahaya dari luar jendela
kusentuh, melihat dari atas sini memang suatu pemandangan yang luar biasa.
perlahan ku memalingkan wajah kekanan kiri, pandanganku
tertuju pada seorang kakek dengan cucu yang masih balita.
setelah kupandang cukup lama, dan kutau bahwa kakek itu
buta dan cucunya itu polio. tapi mereka masih bisa tertawa,
sesekali bocah itu teriak memberi aba-aba kemana arah
mereka berjalan. dua orang yang saling melengkapi.
aku tersenyum melihat mereka, mungkin mereka telah
menjalani hidup yang lebih kejam daripada aku.
mungkin apa yang aku rasakan saat ini bukan apa-apa
dibanding mereka. kututup jendela kamar karena udara diluar
lumayan dingin kurasakan. ternyata benar, apa yang banyak
orang katakan. bukalah jendela, karena kau akan melihat dunia.
dikepalaku tak ada sehelai rambutpun, kepalaku botak,
karena kemo setiaphari.
aku mendengar percakapan dokter dengan ibuku, yang
mungkin sengaja dirahasiakan padaku.
umurku mungkin tinggal beberapa bulan lagi. bukan takut
yang kurasakan, namun senang, tersenyum ketika mendengar berita itu.
berarti aku tak lagi menyusahkan banyak orang, suster tak
lagi punya pasien seperti ku. menyusahkan semua orang.
satu pintaku bawa mayatku yang busuk ke vancouver.
mungkin disana arwahku akan melanjutkan mimpiku.
satu bulan berlalu, masih dengan bolak balik kerumah
sakit. kemo, cuci darah, membuatku bukan semakin lebih baik, justru semakin
tersiksa.
jendela kamar rumah sakit terbuka aku curiga, perlahan
kuhampiri. ada balon merah berada dipojokan jendela.
ujung tali balon itu ada secercah kertas, kubuka kertas
itu.
aku tak melihat kata-kata, cuma ada angka di kertas ini.
ada saldo bulan april 2001 sampai sekarang 2010.
terselip dipikiranku, siapa yang menerbangkan uang
sebesar ini ?
tiba-tiba ibuku muncul dari balik pintu kamar,
"sudah kau lihat nak?"
"apa ini ?" sahutku kebingungan.
ibuku tersenyum dan menggenggam tanganku. dan berbisik
"sejak pertama kali kau bilang ingin ke vancouver, sejak taman kanak-kanak
kan?
ibu langsung berniat menabung untuk kelangsunganmu besok,
ibu ingin kau senang, ibu ingin cita-citamu tercapai disana, maafkan ibu nak.
selama ini ibu cuma bisa ngasih ini. "
baru kali ini kuteteskan air mata, ibuku ternyata susah
payah menabung demi aku ? demi cita-citaku ?
tapi semua diluar dugaan, bagaimana dengan keadaanku yang
seperti ini? tidakk, aku gak boleh nyerah.
aku harus ke vancouver. aku ingin melanjutkan studi
kesana. benar-benar suatu yang sangat membuatku terharu. terimakasih ibu.
langit pagi itu benar-benar indah, yang sebelumnya belum
pernah kumelihatnya.
apalagi dilihat darii jendela ini, burung, awan terlihat
jelas dari sini. benar-benar dunia yang aku lihat sekarang.
vancouver aku datang...
perasaan senang mengalahkan rasa sakit dikepalaku.
mungkin inilah hidup yang sebenarnya, benar-benar berputar.
terselip ingatanku pada kakek dan cucunya itu, mereka
saling melengkapi mereka tersenyum dengan kekurangan mereka.
tak pernah sedikitpun meratapi hidup. sesuatu akan indah
pada waktunya.
aku menangis melihat vancouver, ternyata lebih indah dari
pada wallpaper netbookku itu. lebih indah dari bayanganku selama ini.
oh GOd, inilah takdirku ? menjadi seorang yang besar
obsesi dan terpenuhi. terimakasih tuhan ini indah sekali.
aku teriak dalam tangisanku, tertawa lpas dipinggir
sebuah danau tengah kota. dengan lampu-lampu gemerlap bagaikan semangat hidupku
kini.
warna ungu menjadi dominan lampu vancouver, betapa
indahnya ini semua ini benar-benar menghilangkan rasa sakit dikepalaku.
aku tak ingin beranjak dari sini, seperti awal
keinginanku. aku ingin duduk dipinggir danau ini. menatap indah dan
menertawakan keberhasilanku.
tiba-tiba mataku terbuka dan yang pertama kulihat hanya
langit-langit kamar berwarna putih. dengan tubuhku yang lemas, hampir semua
tak bisa digerakkan. kata orang-orang aku ditemui
tergeletak dipinggir sungai, lalu mereka membawaku kerumah sakit.
aku sadar sebuah selang oksigen melekat dihidungku, dan
pendeteksi detak jantung berada disampingku.
tubuh ini sulit kugerakkan, padahal aku ingin kejendela
itu. perlu banyak usaha untuk menggerakakn jempol tanganku saja.
ada apa ini/ inilah akhir ajalku ? aku akan tenang nanti,
karena aku disini, di vancouver.
ibuku tahu semua keinginanku, dia membuka jendela kamar
rumahsakit yang tepat didepanku. aku tersenyum melihat kearah jendela itu.
bukit-bukit vancouver terlihat jelas dari sini,
bangunan-bangunan pencakar langit terlihat gagah berdiri ditanah vancouver.
tuhan terimakasih, aku akan mati tenang.